Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI Achmad Baidowi mengungkapkan banyak serta mahalnya mahar untuk seseorang maju Pilkada 2020 mencuatkan isu money politic yang dilakukan para calon kepala daerah untuk memenangkan kontestasi pada 9 Desember lalu. Apalagi dibatasinya kampanye membuat seluruh calon harus putar otak secara kreatif agar dapat memikat hati rakyat. “Meskipun tidak ada kampanye tapi setiap pelaksanaan kampanye harus memperhatikan protokol kesehatan, harus pakai masker, mahal sekali memang,” ujar Awiek dalam acara diskusi virtual 2021 Tahun Politik Sesungguhnya, Selasa (5/1).
Sekretaris Fraksi PPP ini juga menyinggung adanya money politik yang dilakukan sejumlah calon kepala daerah, namun tidak berhasil diungkap oleh Bawaslu. “Tentu soal ini pinter-pinternya kontestan maupun pelaku, sulit kayak ibarat kita buang angin tidak ketahuan barangnya tapi baunya kecium. Sama dengan pilkada itu,” katanya.
Legislator asal Jawa Timur ini mengatakan, Pilkada 2020 kemarin juga dihadapkan adanya indikasi politisasi birokrasi. Sebabnya, calon kepala daerah incumbent mendominasi dalam kontestasi pilkada. “Kenapa? Justru dengan adanya pandemi Covid-19, dengan adanya Bansos, justru menguntungkan calon-calon petahana kalaupun setidaknya yang memiliki afiliasi petahana, itupun tidak diatasnamakan Pilkada namanya seseorang dibantu oleh program pemerintah tentu dia memiliki ikatan, paling tidak saya kan sudah dibantu. Ada programnya sudah baik kita lihat saja bisa dilihat ini ada beberapa calon incumbent maupun kerabatnya incumbent yang mencalonkan itu lebih banyak yang sukses daripada gagal,” imbuhnya.
Awiek kemudian mencontohkan calon petahana yang gagal di wilayah Ponorogo, Kuantan, dan Majene. Meski petahana bisa melakukan praktik money politik namun banyak juga yang gagal.“Kenapa? Karena dalam situasi ini masyarakat diuntungkan, meskipun dengan bahasa untuk menghindari pelanggaran pemilu pinter dia, tidak mengatasnamakan bantuan Pilkada tapi menggunakan instrumen lain dan itu terlepas dari sorotan Bawaslu,” tandasnya
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin menanggapi isu kemungkinan putera sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka mengikuti Pilkada DKI Jakarta bahkan Pilpres 2024 mendatang sangat mungkin terjadi. Pasalnya, menilik track record Gibran yang kini telah memenangkan Walikota Solo itu pun tanpa terduga-duga sebelumnya. “Di politik itu nothing is impossible (tidak ada yang tidak mungkin) pasti mungkin. Saya melihat kalau misalnya Gibran itu digadang-gadang menjadi Gubernur DKI Jakarta nanti dan seandainya Pilkadanya ada di 2022 itu hal yang wajar. Kemarin saja, mohon maaf ya, ketika Gibran tidak aktif di partai pun dia bisa mendapatkan rekomendasi partai dan langsung bisa menjadi walikota kok. Apa yang enggak bisa di Indonesia ini?” sambungnya.
Menurut pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia ini, ada alasan mendasar kenapa Presiden Jokowi pada periode kedua ini ‘memajukan’ anak dan menantunya Bobby Nasution pada Pilkada 2020 kemarin. “Mohon maaf, kenapa Pak Jokowi memajukan anak dan menantunya di Pilkada 2020? Karena itu punya target politik,” tuturnya.
Atas dasar itu, Ujang menyebut, tidak menutup kemungkinan apabila Gibran akan maju pada Pilkada DKI Jakarta bahkan ikut Pilpres 2024 mendatang. Menurutnya, soal kemungkinan terpilih atau tidaknya putera mahkota itu tergantung dinamika politik tanah air ke depan. “Mohon maaf, ini saya katakan di Indonesia ini enggak ada yang enggak bisa, semua bisa diatur. Yang gak bisa itu apa? Merokok di pom bensin karena takut meledak, sama masuk Masjid pake sepatu atau sandal. Hanya dua itu yang enggak boleh di Indonesia itu,” imbuhnya.
Lebih lanjut Ujang mengatakan pada setiap pilkada, pileda mapun pilpres sangat kental dengan isu keteganngan kubu yang bersaing merebutkan suara rakyat. Hal ini seharusnya tidak terjadi, pasalnya, menurut Ujang pesta demokrasi seharusnya diwarnai dengan suka cita, bukan saling serang atau menjatuhkan kubu lawan. “Mari ke depan kita bangun kesadaran anak bangsa bahwa setiap momentum pilkada, pileg mapun pilpres seharusnya mencerahkan dan memberikan harapan baru bagi rakyat yang memberikan mandate pada calon yang dipercaya memimpin lima tahun ke depan. Bukan berseteru, bersaiang tak sehat yang jauh dari makna demokrasi. Jika calon pemimpin menyadari arti demokrasi, juga akan siap dengan hasil kontastasi baik menang atau kalah, harus legowo,” pungkasnya.