Awalnya pria yang akrab disapa Toni ini hanya senang melihat-lihat proses pembuatan sepatu yang dilakukan pamannya, namun semakin sering melihat, semakin kuat pula dorongan untuk mencoba dan mendalami pembuatan sepatu. “Kebetulan paman saya punya usaha pembuatan sepatu, dari situ saya coba mendalaminya dengan arahan dan bimbingan paman saya,” papar pria kelahiran Malang, 20 Oktober 1961 ini.
Setelah memiliki cukup pengetahuan, Toni mulai membuka usaha pembuatan sepatu sekitar tahun 1985 di sebuah rumah kontrakan miliknya. Modal yang dikeluarkan Toni waktu itu cukup kecil, ia hanya menggelontorkan dan sebesar Rp 200 ribu yang dipergunakan membeli 5 buah klebuk (acuan/cetakan sepatu), bahan baku untuk 10 pasang sepatu, dan memodifikasi mesin jahit milik istrinya agar bisa disesuaikan dengan kebutuhan menjahit sepatu.
Meski telah lama menjalankan usahanya, Toni mengaku usaha yang diberi label D’indo Shoes ini baru mulai dikenal setelah lima tahun berjalan. Sejak tahun 1990 Toni mulai kebanjiran order pembuatan sepatu karena membuka layanan pemesanan sepatu secara custom tanpa ada jumlah minimal. Dari momen ini pula Toni mulai belajar membuat sepatu wanita dengan desain-desain yang variatif dan mengikuti tren di pasaran dari pesanan-pesanan konsumen yang datang. Atas dasar itu pula Toni mulai mengembangkan usahanya dengan mengelontorkan modal tambahan sebesar Rp 30 juta secara bertahap untuk menambah perlengkapan dan jumlah pembelian bahan baku untuk memperbesar jumlah kapasitas produksi.
Korean dan Japanese Style. Booming sepatu Korean dan Japanese style, 1-2 tahun belakangan memaksa Toni mengikuti tren yang beredar di pasaran. Karenanya Toni juga ikut memproduksi sepatu dengan gaya yang berasal dari dua negara serumpun tersebut sejak pertengahan tahun 2009. Dijelaskan Toni perbedaan sepatu Korean dan Japanese style dibanding dengan model lainnya terletak pada warna yang lebih soft seperti hitam, cokelat, dan merah maroon, cokelat muda, abu-abu, dan silver.
Adapun model yang lagi booming kebanyakan Ankle Boot dan Boot untuk wanita. Untuk Ankle Boot biasanya memiliki tinggi 3-5 cm di atas mata kaki, bagian depan berbentuk agak runcing, dan terdapat banyak kerut baik pada bagian depan atau belakang, serta memiliki tinggi heels-nya sekitar 3 cm, terkadang modelnya terbuka pada bagian punggung sepatu. Sedangkan untuk sepatu Boot, biasanya model yang dianut agak longgar di kaki dan memiliki tinggi hingga menutupi betis menggunakan tali pada bagian depan atau kancing gesper di bagian samping sepatu yang membuat pola lubang berbentuk layang-layang. Meski demikian Toni juga membuat sepatu Korean dan Japanese style dengan model high heels, sol flat, dan wedges untuk wanita.
Desain-desain tersebut biasa didapatkan Toni dari pelanggan yang datang dengan membawa contoh foto artis Korea idolanya. Model lain didapat dari hasil searching di internet dan majalah-majalah yang membahas artis Korea dan Jepang yang kemudian dimodifikasi dan dikombinasikan dengan desain buatannya. “Biasanya kita keluarkan tiga model baru itu setiap bulan. Untuk produk yang kurang laris tentu akan dihentikan produksinya sementara yang laris, sepanjang masih ada permintaan kita produksi terus. Yang laris saat ini adalah sepatu flat shoes, ankle boot, dan boot high heels,” beber Toni.
Selain itu Toni juga memproduksi sepatu lainnya yang diberi nama sepatu cantik dengan model high heels, boot flat, boot high heels, wedges, ankle boot, dan gladiator high heels/flat. Sementara untuk sepatu pria Toni memproduksi sepatu sporty, pantofel, boot, dan sepatu safety dengan berbagai ukuran, 35 – 41 untuk sepatu dewasa wanita, 38 – 43 untuk dewasa pria, dan 25 – 34 untuk sepatu anak. Harga jual yang ditawarkan juga sangat terjangkau karena menyasar kalangan menengah, yakni berkisar antara Rp 100 – 400 ribu tergantung jenis dan bahan yang digunakan. Untuk ankle boot dijual Rp 200 – 300 ribu, high heels Rp 135 – 175 ribu, boot Rp 225 – 400 ribu, dan wedges Rp 200 – 300 ribu.
Bahan Baku dan Proses Produksi. Toni menggunakan tiga pilihan bahan, yakni kulit, semi kulit, dan real suede dengan kualitas terbaik agar daya tahan sepatu mampu bertahan lama. Selain bahan utama tersebut ada pula bahan pendukung lain seperti sol, heels, insol, dan lem. Bahan-bahan ini biasa didapatkan di pasar yang ada di Malang, namun Toni mengaku lebih sering membelinya di Pasar Kramat Gantung, Surabaya dengan harga bahan kulit Rp 20 ribu per feet (1 feet = 27-28 cm) minimum pembelian 1 roll/200 feet, bahan semi kulit seharga Rp 20 – 45 ribu per meter, bahan real suede Rp 45 ribu per meter, heels Rp 90 ribu per kodi (minimal 10 kodi), Insol atau tapak dalam Rp 25 ribu per lembar (1 lembar = 1m, minimal pembelian 40 lembar), sol 5-10 kodi dengan harga Rp 30 – Rp 250 ribu rupiah per kodi.
Dalam proses produksi, peralatan yang digunakan antara lain mesin jahit merek Singer seharga Rp 2 juta, jarum jahit ukuran 18, mesin press buatan China seharga Rp 400 ribu (tahun ‘90an), dan dinamo atau gerinda buatan China seharga Rp 400 ribu. Namun dijelaskan Toni untuk usaha pembuatan sepatu peralatan yang paling banyak jumlahnya adalah klebuk (acuan/cetakan sepatu) yang mana setiap model sepatu membutuhkan klebuk yang berbeda-beda sesuai modelnya. Selain peralatan tersebut, Toni juga menggunakan gunting kain untuk memotong bahan kain, lem Aibon, palu, dan paku kecil.
Sepasang sepatu Korean dan Japanese style berbahan kulit bisa menghabiskan 2,5-8 feet bahan kulit, sedangkan untuk sepatu berbahan semi kulit dan real suede bisa menghabiskan ¼ -3/4 meter bahan dalam proses produksinya. Untuk 1 lembar insol dan sol bisa menghasilkan 20 pasang sepatu, sementara untuk heels, Toni membelinya sudah dalam keadaan jadi sehingga sepasang sepatu membutuhkan 2 buah heels yang disesuaikan dengan model sepatunya. “Kalau dihitung-hitung biaya produksinya itu sekitar Rp 20-50 ribu saja. Tapi itu belum termasuk gaji karyawan, transport dan lainnya,” jelas suami dari Misiah ini.
Untuk membuat sepatu Korean dan Japanese style, Toni dan 4 orang karyawannya yang diupah Rp 250 – 400 ribu per minggu, hanya membutuhkan waktu 2-5 jam untuk membuat sepasang sepatu. Sebagian model sepatu yang diproduksi ayah satu orang anak ini dipasarkan secara ready stock, namun ada pula yang pre order atau customized . Untuk produk pre order atau customized akan dibuatkan setelah konsumen membayar DP sebesar 50% dari total harga yang disepakati dan proses produksi memakan waktu selama 1 minggu setelah DP diterima. Untuk pemesanan di luar kota biasanya ongkos kirim ditanggung oleh pemesan. “Pengemasannya biasanya kami menggunakan kardus atau tas,” paparnya.
Tiap bulan total sepatu yang bisa dijual Toni sebanyak 120 hingga 150 pasang sepatu berbagai jenis, dengan jumlah sepatu Korea dan Japanese style yang terjual berkisar antara 25-35 pasang sepatu. Dari hasil penjualan tersebut, Toni memperoleh omset sekitar Rp 22 juta dengan keuntungan bersih hingga Rp 5,6 juta per bulan.
Pemasaran dan Promosi. Awal memasarkan produknya, Toni terjun langsung ke lapangan dengan menjualnya kepada teman-temannya. “Meskipun mereka nggak beli produk, tapi setidaknya pesan saya untuk mempromosikan usaha pembuatan sepatu tersampaikan. Saya juga membuat brosur seadanya yang saya sebar ke pemukiman di wilayah yang tidak jauh dari lokasi saya, pada waktu itu di Daerah Belimbing, Malang,” ujar Toni.
Sejak tahun 2011, kerena merasa penggemar sepatu Korean dan Japanese style lebih banyak berkumpul di dunia maya dan tren usaha online yang semakin marak, maka Toni mengembangkan program pemasarannya melalui internet. Sebelumnya Toni juga sudah membuka peluang kerja sama reseller dengan sistem jual putus. Keuntungan yang ditawarkan ke Reseller berupa potongan harga sebesar 30% dari harga eceran dan Toni membebaskan Reseller untuk menjual kembali dengan harga yang diinginkan.
“Kita juga sediakan garansi jika produk yang diterima cacat atau tidak sesuai pesanan dengan ketentuan yang disepakati sebelumnya. Sekarang sudah ada lebih dari 10 Reseller yang berlokasi di Malang, Surabaya, Jember, Banyuwangi, Blitar, dan Kediri,” jelasnya. Untuk mendukung pemasaran tersebut, hingga saat ini Toni masih sering menebar brosur dan kartu nama pada setiap pembelian produk sepatunya yang diselipkan pada kemasan.
Persaingan. Toni melihat model sepatu Korean dan Japanese style masih bisa bertahan 1-2 tahun ke depan. Tetapi perkembangannya akam lebih mengarah kepada permainan warna, seperti warna-warna pasta dan warna yang ngejreng. “Untuk model saya rasa masih seputar ankle boot, high heels, wedges, dan flat shoes. Cuma mungkin pemilihan warnanya yang akan berkembang, mengingat anak muda sekarang suka menabrak-nabrak warna. Sepatu Korea juga sebenarnya modelnya sudah ada dari dulu, cuma baru mulai tren ketika dipakai artis-artis Korea.
Karena itu potensi dan prospektif di bidang usaha ini yang cukup besar, tak salah jika persaingan di industri ini cukup ketat. Namun bagi pria yang hanya lulusan SMP ini adanya pesaing bukan akhir dari segalanya. Menurutnya persaingan merupakan cermin kualitas dan pelayanan. Semakin banyak pesaing tentu akan lebih memicu semangat untuk membuat produk dan pelayanan kepada konsumen lebih baik dari para pesaingnya yang bisa menghadirkan konsumen loyal maupun konsumen baru.
Kendala terbesar yang dirasakan Toni datang dari tenaga ahli pembuat sepatu. Pasalnya tak jarang karyawan yang telah memiliki skill bagus dibajak oleh produsen lain dengan iming-iming bayaran yang lebih tinggi, atau banyak pula karyawan sudah merasa mampu membuka usaha sendiri yang kemudian menjadi pesaingnya. Namun hal tersebut tidak dipermasalahkan olehnya, karena bagi Toni setiap orang memiliki rejekinya masing-masing.