Masa Depan Subak Bali: Langkah UNESCO untuk Melestarikan Warisan Budaya

0
364
Masa Depan Subak Bali: Langkah UNESCO untuk Melestarikan Warisan Budaya
Masa Depan Subak Bali: Langkah UNESCO untuk Melestarikan Warisan Budaya (Dokumen Foto: Kemenparekraf)
Pojok Bisnis

UNESCO bersama Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk melestarikan sistem irigasi pertanian Bali yang dikenal dengan nama Subak sebagai warisan budaya dunia. Hal ini disampaikan oleh Deputy Director General of UNESCO, Xing Qu, dalam diskusi bertema “Subak and Spice Routes: Local Wisdom Water Management” pada acara World Water Forum (WWF) ke-10 di BICC, Nusa Dua, Selasa (21/5/2024).

Sistem irigasi Subak telah ada selama ribuan tahun dan masih bertahan hingga kini karena dipelihara secara turun-temurun. UNESCO menetapkan Subak sebagai warisan budaya dunia pada 29 Juni 2012 dan terus berkomitmen untuk menjaga kelestariannya.

Filosofi Tri Hita Karana

Subak dikelola oleh masyarakat adat Bali berdasarkan filosofi Tri Hita Karana, yang menekankan keseimbangan dan keharmonisan antara manusia, alam, dan Tuhan. Sistem ini dianggap sebagai contoh harmonisasi hubungan antara manusia dan air.

“Salah satu upaya untuk melestarikan Subak termasuk advokasi perlindungan warisan budaya terkait air untuk mengatasi tantangan masalah air abad ke-21,” ujar Xing Qu.

PT Mitra Mortar indonesia

Xing Qu juga memaparkan berbagai inisiatif UNESCO dalam meningkatkan promosi dan edukasi tentang penggunaan air yang bijak, seperti dukungan pendidikan terkait pengelolaan air, peningkatan kapasitas, dan fasilitasi kerjasama air lintas batas. Upaya ini sejalan dengan semangat yang diusung dalam World Water Forum ke-10 di Bali.

“Kita perlu merefleksikan kembali hubungan kita dengan air, bagaimana kita mengkonsumsi dan mengelolanya. UNESCO akan meluncurkan inisiatif baru di Indonesia untuk mendukung pengelolaan air yang lebih berkelanjutan,” jelas Xing Qu.

Pentingnya Air dalam Budaya Bali

Xing Qu juga mengagumi kehidupan masyarakat Bali yang selalu berhubungan erat dengan air. Berbagai upacara dan ritual umat Hindu di Bali selalu menggunakan air, sehingga krisis air dapat menjadi ancaman serius bagi masyarakat Bali dan juga dunia.

Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hilmar Farid, juga mengungkapkan bahwa kearifan lokal dalam tata kelola air telah menjadi bagian dari masyarakat Indonesia sejak ribuan tahun. Kearifan lokal ini dapat menjadi sumber pembelajaran dan kontribusi bagi masyarakat global dalam mengatasi masalah air.

“Bali memiliki nilai pengelolaan air yang berbasis pada solidaritas dan konektivitas. Mereka yang hidup di hilir harus berterima kasih kepada masyarakat di hulu yang menjaga sumber air,” ujar Hilmar.

Isu pengelolaan air sangat kompleks dan memerlukan kerjasama lintas negara. Subak menawarkan cara pengelolaan air yang efektif dan berkelanjutan. Filosofi air bagi masyarakat Bali juga ditegaskan oleh I Ketut Eriadi Ariana dari DPP Peradah Indonesia Bali, yang menekankan bahwa air adalah representasi manusia baik di dalam maupun di luar.

“Masyarakat Bali percaya bahwa ketika mata air hilang, pikiran mereka juga hilang. Teks kuno Bali berbicara tentang pengelolaan air dan aturan menjaga serta merawatnya. Subak bukan hanya terasering, tetapi juga bentuk solidaritas,” kata I Ketut.

Untuk mengatasi tantangan terkait air, diperlukan kolaborasi bersama, pemberdayaan masyarakat, peningkatan kesejahteraan petani, dan edukasi berkelanjutan. “Tata kelola air dunia harus didasari oleh nilai solidaritas dan konektivitas untuk menghindari krisis air,” tambahnya.

Selama World Water Forum ke-10, peserta dan pengunjung dapat melihat pameran jejak rempah bertajuk “Telu, Spice Market, Balinese Culture Art” dan “Subak Cultural Landscape” di Museum Pasifika, Nusa Dua, Bali, dari 21-25 Mei 2024.

DISSINDO
Top Mortar Semen Instan