Booming properti beberapa tahun lalu menjadi magnet bagi banyak orang terjun ke bisnis properti. Kenaikkan harga yang fantastis kala itu, dan permintaan akan produk properti seperti apartemen, rumah, dan ruko yang tak pernah berhenti menjadikan bisnis ini ladang basah untuk mendulang banyak uang. Namun seiring berjalannya waktu, tak sedikit pengembang properti tak mampu menenuskan bisnisnya.
Ketua DPD REI (Real Estate Indonesia) Jawa Barat Joko Suranto mencatat setidaknya 40 persen atau196dari total 490 pengembang properti di wilayah Jawa Barat gulung tikar. Menurut Joko, rontoknya pengembang di Jawa Barat bukan terjadi baru-baru ini, melainkan sudah terjadi sejak sektor properti melambat di tahun 2014. “Bahkan, tahun ini lebih parah dari tahun 2017,” ujar Joko.
Penjualan Menurun
Joko menjelaskan, pengembang properti yang berguguran adalah pengembang yang selama ini bergerak di sektor perumahan murah dan subsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Menurutnya, salah satu penyebab bangkrutnya 196 pengembang tersebut lantaran penjualan yang terus menurun.
Joko mengatakan penurunan penjualan semakin dalam. PT Buana Kassiti adalah salah satu pengembang yang masih bertahan ditengah anjloknya penjualan hingga 45 persen. Pengembang yang beroperasi di 11 kota dan kabupaten Jawa Barat ini mampu menjual rumah 5 sampai 10 unit per bulan. Namun sejak awal tahun hingga Juni 2018, PT Buana Kassiti hanya mampu menjual dua unit per bulan.
Wakil Ketua DPD REI Jawa Tengah Bidang Promosi Humas dan Publikasi, Dibya K Hidayat mengatakan penjualan properti menurun tercermin dari penjualan properti dalam pameran dari tahun ke tahun. Menurut catatan pameran REI Expo tahun 2014, pihaknya mampu menjual 1.007 unit. Namun penjualan menurun menjadi 651 unit dan 461 unit rumah pada tahun 2015-2016. Penjualan semakin parah terjadi pada REI Expo bulan Desember 2017 yang hanya 33 unit dari target 70 unit rumah. Begitu juga penjualan pada pameran 15-16 Agustus 2018 di Semarang yang hanya laku 29 unit.
Penjualan properti yang lesu juga dirasakan pengembang perumahan Graha Malaka, Ngaliyan Defry Marta Tajako. “Biasanya, kalau pameran perumahan, (pembeli) ramai. Tapi, nggak tahu, sekarang kondisinya lesu,” keluhnya.
Agar tak ikut gulung tikar, 294 pengembang anggota REI Jabar yang masih bertahan, menurut Joko telah melakukan berbagai strategi salah satunya switching atau mengubah orientasi pasar dari sebelumnya menggarap perumahan MBR menjadi properti kelas menengah dengan harga Rp 500 juta hingga Rp 2 miliar.
“Pasar di atas Rp 500 juta hingga Rp 2 miliar, masih relatif lebih bagus karena daya beli konsumennya tidak terpengaruh kondisi perlambatan,” tandas Joko. Konsumen segmen pasar ini-lah yang selama ini menjadi pendongkrak sektor properti di Jawa Barat.