Buku 7 Arsitek Indonesia yang mengusung tema lahirnya generasi arsitek baru ini diterbitkan oleh Kanaya Press, Group Puspa Swara. Di dalam buku setebal 173 halaman ini merangkum karya ketujuh generasi arsitek baru Indonesia di antaranya Martin L Katoppo; Yu Sing; Gede Kresna; Effan Adhiwira; Ign.Susiadi Wibowo; Ariko Andikabina; Stanley Wangsa. Buku yang secara detil mengekspos berbagai sudut bangunan rumah ini ditulis apik Peter Yogan Gandakusuma dan Murni Khuzrizmi.
Generasi Baru.
Dalam bukunya Peter menyampaikan bahwa dari beberapa karya seni genarasi arsitek baru tersebut memiliki kesamaan gagasan ideal tapi berbeda cara mengeksekusinya. Kesamaan tentang keunggulan material, kesadaran anggaran, keahlian melakukan terobosan dan keberanian bereksperimen membuat karya yang dihasilkan memang jadi berbeda di mata orang awam.
Karya-karya mereka mungkin terlihat agak kotor, tidak rapi, aneh tidak normal, dan agak ganjil. Namun ini merupakan pencapaian karya yang luar biasa, berjiwa dan menghadirkan cinta berdedikasi terhadap profesionalitas seorang arsitek yang tengah berkarya dan berusaha memberi dampak bagi masyarakat. Demikian disampaikan Peter dalam prakatanya.
Sementara Murni berpendapat buku ini ingin meninspirasi pembaca Indonesia. Ketika bahan bangunan semakin mahal dan sementara kebutuhan hidup semakion bertambah, maka setiap rumah tangga musti memikirkan solusi jitu untuk membangum rumah yang tetap indah.
Mengikuti pola-pola rumah masa kini yang memakai banyak material industry sejak pondasi hingga pengecetan, sudah tidak mungkin diikuti secara keseluruhan. Semua bahan bangunan sekarang naik signifikan semakin mahal dan secara estetika juga semakin kaku (rigid).
Gambar sampul buku digunakan foto rumah Martin L Katoppo yang dibangun sangat teoritis, seolah-olah bebas dari himpitan budaya praktik hari ini. Menurut kami teorinya sangat menarik untuk dikembangkan oleh pembaca dan arsitek, hampir semua isu lingkungan, sosial budaya dan teknologi “dipaksa” masuk sambil dicari-cari pembenaran estetikanya. Martin L Katappo dan keluarganya sudah menetap hampir empat tahun di rumah non progresifnya itu.
Dalam pengantarnya, Guru Besar Universitas Indonesia, Prof. Ir. Triatno Yudo Harjoko, M. Sc, Phd, menyampaikan bahwa karya desain dari tujuh arsitek memeang bukan yang “wah” tapi aspek kecermatan dalam keterbatasan serta kesederhanaan.
Kiprah semacam ini sangat bermakna tinggi bagi klien yang ingin menggunakan jasa arsitek, tetapi mengidamkan karya yang unik. Keragaman gagasan citra/tanda dari ketujuh arsitek yang bisa jadi muncul sebagai kulminasi diri dari sebuah perjalanan batin yang matang dari masing-masing arsitek menjelma menjadi karya unik dari masing-masing arsitek ini.
Membalik satu per satu halaman di dalam buku ini seperti diajak memahami secara langsung apa yang ingin dikatakan dan latar belakang dari pembangunan sebuah rumah. Triatno memandang bahwa penulisan dalam buku ini lebih merupakan ‘jembatan’ daripada ‘hadiah baru yang terbungkus rapi’.
Hasil Pemikiran Kritis
Barangkali yang mengagetkan atau dianggap mewakili generasi ‘baru’ adalah bagaimana 7 arsitek tersebut memakai paradigma-paradigma baru hasil pemikiran kritis mereka, contohnya materialitas untuk dieksplorasi sebagai bahan dalam mendesain, dimana kuantitas pemikiran ini hadir dalam skala berbeda-beda.
Generasi sebelum arsitek-arsitek dengan paradigma baru ini, bisa jadi terkaget-kaget; singgasana ‘gaya-gaya’ mereka dihanyutkan oleh ‘arus’ atau stream yang nampaknya cukup kuat, lebih mendasar dan beralasan. Meskipun demikian ‘hadiah-hadiah’ itu sudah dibuka perlahan-lahan dalam kurun satu atau lima tahun terakhir. Demikian juga pasar mungkin masih hati-hati untuk mengadopsi paradigma baru ini, kali-kali ini hanya sepenggal epoch yang akan segera tertiup angin.
Hanya ada satu yang bisa mengalahkan mainstream, dia adalah small-stream yang mirip-mirip seperti ini. Secara umum desain-desain dalam buku 7 adalah modern, ada yang sangat modern, dan ada juga yang merepresentasikan jejak tradisi. Bahkan unsur gaya baru seperti gaya industrial juga tampak laksana eklektisism yang ‘biasanya’, the casual eclecticism.