Membeli rumah sering kali dianggap sebagai pencapaian besar dalam hidup, tetapi bagi generasi muda saat ini, mimpi tersebut semakin terasa sulit diwujudkan. Masalah ini bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan di seluruh dunia. Mengapa generasi milenial dan gen Z kini sulit memiliki rumah sendiri? Berikut Berempat.com akan memberi beberapa faktor penyebabnya yang patut kita fahami.
1. Harga Properti yang Terus Meningkat
Harga properti, khususnya di perkotaan, terus melonjak setiap tahunnya. Kenaikan ini tidak diimbangi dengan kenaikan pendapatan yang signifikan, membuat semakin banyak anak muda merasa tidak sanggup membeli rumah. Di beberapa kota besar seperti Jakarta, harga rumah terus naik hingga rata-rata 10-15% per tahun.
Banyak pakar ekonomi menyebut ini sebagai property bubble, di mana harga rumah naik jauh lebih cepat dari kemampuan daya beli masyarakat. Dalam jangka panjang, hal ini mempersulit generasi muda yang baru memulai karir untuk mengumpulkan uang muka (down payment) maupun cicilan bulanan.
2. Penghasilan yang Tidak Seimbang dengan Biaya Hidup
Tingkat penghasilan generasi muda saat ini tidak sebanding dengan inflasi dan kenaikan harga barang serta layanan. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat inflasi di Indonesia selama beberapa tahun terakhir berada di kisaran 2-4% per tahun. Di sisi lain, rata-rata kenaikan gaji karyawan di level entry hanya sekitar 5-6% per tahun, yang sering kali tidak cukup untuk mengejar inflasi.
Bagi banyak anak muda, sebagian besar gaji bulanan harus digunakan untuk kebutuhan sehari-hari seperti makanan, transportasi, serta kebutuhan digital. Alhasil, jumlah yang tersisa untuk ditabung menjadi kecil, sehingga mengumpulkan uang muka rumah menjadi tantangan tersendiri.
3. Kebutuhan Hidup dan Gaya Hidup Konsumtif
Kebiasaan konsumtif generasi muda juga menjadi faktor yang memperlambat proses mereka dalam membeli rumah. Gaya hidup modern seperti makan di luar, traveling, dan membeli gadget terbaru memang menggoda, terutama dengan kemudahan layanan buy now, pay later dan berbagai kredit konsumtif.
Menurut survei oleh Katadata, 70% generasi milenial di Indonesia menghabiskan pendapatan mereka untuk kebutuhan gaya hidup, bukan untuk investasi atau tabungan jangka panjang. Kondisi ini membuat mereka kesulitan menabung untuk DP rumah, apalagi membayar cicilan dalam jangka waktu panjang.
4. Biaya Pendidikan dan Pinjaman Pendidikan
Tidak hanya itu, banyak anak muda yang harus berhadapan dengan biaya pendidikan yang mahal. Beberapa dari mereka masih memiliki pinjaman pendidikan yang perlu dilunasi setelah lulus kuliah. Ini menjadi beban tambahan yang cukup berat, terutama jika harus dibayarkan bersamaan dengan kebutuhan hidup lainnya.
Di beberapa negara seperti Amerika Serikat, pinjaman pendidikan menjadi penyebab utama tertundanya keputusan untuk membeli rumah. Meski di Indonesia skala pinjaman pendidikan tidak sebesar di luar negeri, namun tetap berperan sebagai beban tambahan yang perlu diperhitungkan.
5. Persaingan dengan Investor Properti
Fenomena investor properti yang membeli rumah untuk dijadikan aset atau investasi jangka panjang juga menjadi masalah tersendiri. Para investor ini sering kali memiliki dana besar, sehingga mampu membeli properti secara tunai atau dengan uang muka yang tinggi, membuat harga rumah semakin melambung.
Fenomena ini juga terjadi di Indonesia, di mana properti, terutama di kota besar, sering dijadikan investasi oleh orang-orang yang sudah mapan. Akibatnya, rumah-rumah yang seharusnya dapat dibeli oleh kalangan muda menjadi semakin sulit dijangkau.
6. Syarat Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang Ketat
Perbankan memiliki syarat dan ketentuan yang cukup ketat untuk memberikan Kredit Pemilikan Rumah (KPR), terutama bagi mereka yang bekerja di sektor informal atau tidak memiliki penghasilan tetap. Banyak anak muda saat ini bekerja di industri gig economy seperti freelancer, startup, atau kontrak, yang memiliki ketidakpastian penghasilan. Kondisi ini membuat mereka kesulitan memenuhi persyaratan KPR.
Sementara bank lebih cenderung memberikan KPR kepada orang-orang dengan penghasilan tetap dan stabil, yang membuat generasi muda yang baru memulai karir sering kali kesulitan untuk diterima pengajuan KPR-nya.
7. Minimnya Edukasi Finansial
Faktor terakhir yang juga cukup signifikan adalah kurangnya edukasi finansial sejak dini. Banyak generasi muda yang tidak memiliki pengetahuan cukup tentang pentingnya investasi, pengelolaan keuangan, serta perencanaan pembelian aset besar seperti rumah. Alhasil, mereka sering kali tidak memiliki strategi finansial yang solid untuk mencapai tujuan membeli rumah.
Menurut ahli finansial Prita Ghozie, edukasi keuangan sejak dini dapat membantu generasi muda membuat rencana yang lebih matang dalam mencapai tujuan finansial mereka, termasuk membeli rumah. “Tanpa perencanaan yang matang dan komitmen menabung yang kuat, keinginan membeli rumah akan sulit tercapai,” jelas Prita.
Kombinasi dari harga rumah yang tinggi, gaya hidup konsumtif, minimnya penghasilan, persaingan dengan investor properti, dan kurangnya edukasi finansial membuat generasi muda kesulitan untuk membeli rumah. Namun, hal ini bukan berarti mustahil. Dengan perencanaan keuangan yang baik, komitmen menabung, dan pemilihan investasi yang tepat, impian untuk memiliki rumah masih bisa dicapai.
Bagi yang ingin memiliki rumah di masa depan, penting untuk mulai menabung sejak dini, mengendalikan gaya hidup konsumtif, dan mencari informasi seputar investasi atau program pemerintah yang bisa membantu anak muda memiliki rumah.