Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mengungkapkan kekhawatirannya terhadap dampak kehadiran social commerce (s-commerce) seperti TikTok Shop terhadap industri ritel.
Dalam upayanya untuk melindungi konsumen dan memastikan fair play dalam perdagangan elektronik, Aprindo mendesak perlunya kebijakan yang sejajar antara pelaku ritel dan penjualan di platform s-commerce.
“Perdagangan elektronik harus beroperasi di level yang sama dengan bentuk perdagangan lainnya,” kata Ketua Umum Aprindo, Roy Nicholas Mandey, dalam konferensi pers di Jakarta Selatan pada Jumat (22/9).
Kebijakan yang Setara untuk Platform Social Commerce
Aprindo mengajukan beberapa tuntutan penting. Pertama, mereka menekankan perlunya penerapan kebijakan fiskal yang setara untuk penjualan di platform s-commerce, serupa dengan yang diterapkan oleh ritel konvensional.
Kedua, Aprindo menuntut agar aturan yang berkaitan dengan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag), seperti Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk produk dan persyaratan BPOM serta sertifikasi halal untuk produk makanan, juga berlaku di s-commerce.
Menurut Roy, detail-detail aturan seperti ini harus dimasukkan dalam revisi Permendag No 50/2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang sedang berlangsung.
Roy mengungkapkan kekhawatiran bahwa tanpa aturan yang jelas untuk s-commerce, konsumen akan kehilangan perlindungan yang seharusnya mereka dapatkan.
“Jika tidak ada regulasi yang melindungi konsumen, bagaimana jika produknya palsu? Siapa yang akan bertanggung jawab? Di ritel, jika Anda membeli TV yang tiba-tiba rusak, Anda dapat mengembalikannya. Namun, bagaimana dengan s-commerce?” jelas Roy.
Menurut Menkop UKM
Perlu dicatat bahwa fenomena dan dampak s-commerce, terutama melalui aplikasi seperti TikTok, telah menjadi perdebatan hangat. Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menkop UKM), Teten Masduki, mengungkapkan keprihatinannya bahwa s-commerce dapat mengancam kelangsungan UMKM di dalam negeri.
Proyek S TikTok Shop juga menuai kecurigaan sebagai upaya perusahaan untuk mengumpulkan data produk yang populer di suatu negara, untuk kemudian diproduksi di China.
“Di Inggris, algoritma TikTok dapat mengubah perilaku konsumen dari yang awalnya tidak berbelanja menjadi berbelanja. Mereka dapat mengarahkan konsumen untuk membeli produk dari China dengan harga yang sangat murah,” ungkap Teten.