Sektor farmasi masih menghadapi beragam tantangan. Indonesia masih mengimpor lebih dari 90 persen bahan baku yang dibutuhkan farmasi dengan 70 persen bahan baku berasal dari China. Dari 10 proritas industri, farmasi, kosmetik dan medical devices industry menjadi prioritas kedua setelah food industry.
Direktur Perencanaan Jasa dan Kawasan Badan Koordinasi Penanaman Modal, Nurul Ichwan, mengatakan industri farmasi memainkan peranan sangat penting sekali. Indonesia selalu menjadi sorotan karena dengan jumlah penduduk lebih dari 260 juta dan kita baru saja memasuki pada era kesadaran untuk menjaga kesehatan dengan cara yang lebih benar.
“Indonesia merupakan market sangat besar dengan 40% penduduknya berusia di bawah 25 tahun, berbeda dengan Eropa yang cenderung mendekati mature market. Ini yang kemudian menjadi perhatian dunia. Indonesia memiliki peluang untuk menjadi supplier terhadap kebutuhan-kebutuhan sektor farmasi,” jelasnya di acara Diskusi Momentum Mengubah Indonesia Menjadi Pusat Farmasi Regional di BKPM, Jakarta, Selasa (2/7/2019).
Menurutnya, industri farmasi tidak hanya menjadi motor perekonomian Indonesia, tetapi juga harus bisa menjadi aktor yang memberikan kontribusi untuk mengurangi gap antara ekspor dan impor produk farmasi. Pada 2014, nilai ekspor produk farmasi Indonesia mencapai USD 518,1 juta dan nilai impor mencapai USD710,2 juta. Sementara pada 2018, ekspor produk farmasi senilai USD546,2 juta, dengan nilai impor USD990,5 juta.
“Jika diperhatikan gap-nya dari tahun ke tahun semakin besar. Padahal kita ingin Indonesia pada tahun 2025 menjadi 15 besar dari industri farmasi di dunia. Apakah kemudian pemerintah mampu menghadirkan regulasi yang bisa menciptakan investasi lebih kondusif dan membuat Indonesia menarik bukan hanya bagi eksportir, tetapi juga untuk market investasi dan kita bisa mengundang investor masuk ke Indonesia,” tambahnya.
Ia mengatakan, pemerintah perlu memikirkan untuk bisa menghadirkan kawasan industri yang terintegrasi untuk industri farmasi baik dari bahan baku, bahan setengah jadi sampai bahan jadi, dan harus berada dekat dengan pelabuhan.
“Kalau misalnya itu sudah dibuat akan lebih bagus lagi kalau itu dijadikan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) untuk produk farmasi sehingga insentifnya akan lebih banyak lagi. Pemerintah daerah yang di daerahnya sudah ada pelabuhan ekspor internasional boleh memikirkan di daerahnya untuk dibangun KEK untuk industri farmasi. KEK itu bisa dikelola oleh BUMN, swasta atau PMA. Konsep ini bisa dibawa ke investor asing yang bisa jadi akan tertarik sehingga tidak perlu menggunakan dana APBN atau APBD,” jelasnya.
Direktur Riset Institute for Development and Economics Finance, Berly Martawardaya yang juga hadir di acara tersebut mengatakan, investasi asing di sektor farmasi tahun 2018 menurun 25% jika dibandingkan tahun sebelumnya, dari di atas Rp 3 triliun menjadi Rp 2,36 triliun. Hal ini menunjukkan bahwa daya tarik investasi di sektor ini masih belum kuat.
Salah satu peraturan yang dapat menghambat investor di sektor ini adalah Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 10 Tahun 2008 yang mewajibkan perusahaan farmasi asing berproduksi atau menunjuk perusahaan lain yang telah terdaftar menjadi produsen di dalam negeri untuk mendapatkan persetujuan obat.
Menurutnya nilai investasi sektor farmasi terus menurun sejak 2012, sejak diimplementasikannya peraturan tersebut. Ekspor industri farmasi juga masih sangat minim, berbeda dibandingkan dengan Singapura yang ekspornya jauh lebih tinggi.