Distribusi bantuan beras pemerintah kembali digulirkan pada Juli 2025 sebagai bagian dari program prorakyat era Presiden Prabowo Subianto. Skema penyaluran kali ini akan dilakukan sekaligus untuk alokasi dua bulan, sebagai upaya menjaga stabilitas ekonomi nasional di kuartal kedua tahun ini.
“Penyaluran bantuan beras pemerintah bisa dilakukan setelah ada penugasan resmi melalui rapat terbatas atau rapat koordinasi tingkat nasional, ditambah pencairan Anggaran Belanja Tambahan (ABT),” ujar Kepala Badan Pangan Nasional (NFA), Arief Prasetyo Adi, saat ditemui di Kompleks DPR RI, Jakarta, Selasa (1/7/2025).
Arief menjelaskan bahwa anggaran program ini sebelumnya belum berada di bawah kendali langsung NFA, melainkan masih berada di pos Bendahara Umum Negara (BA BUN). Namun kini, ia memastikan bahwa ABT telah tersedia dan proses distribusi siap dilaksanakan. “Mulai Juli ini, kita akan kirim sekaligus dua tahap—masing-masing 10 kilogram—ke berbagai wilayah, terutama kawasan timur Indonesia,” jelasnya.
Tahun ini, program bantuan menggunakan data dari Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional, yang mencakup 18.277.083 Keluarga Penerima Manfaat (KPM). Pemerintah mengalokasikan anggaran sekitar Rp4,9 triliun untuk mendanai skema ini.
Menurut Arief, proses pengucuran dana memang harus mengikuti prosedur ketat. “BPK mengingatkan bahwa anggaran harus tersedia lebih dulu sebelum program berjalan. Ini untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas,” tambahnya.
Upaya Pemerintah Tekan Inflasi dan Jaga Harga Petani
Dalam laporan terbaru Badan Pusat Statistik (BPS), beras tercatat sebagai penyumbang utama inflasi bulan Juni 2025 di sektor makanan dan minuman, dengan angka inflasi sebesar 1,00 persen dan andil inflasi sebesar 0,04 persen. Pemerintah berharap intervensi melalui bantuan ini dapat meredam tekanan inflasi.
Berkaca pada tahun sebelumnya, penyaluran bantuan pangan selama sembilan bulan terbukti efektif meredam lonjakan harga. Inflasi beras sempat menyentuh angka 5,32 persen pada Februari 2024, sebelum melandai ke 0,1 persen di akhir tahun.
Arief juga menyoroti siklus produksi beras yang mulai menurun memasuki pertengahan tahun. “Panen raya terjadi pada Maret dan April dengan produksi mencapai 10 juta ton. Tapi begitu memasuki Mei dan Juni, produksi melandai, otomatis harga cenderung naik,” katanya.
Ia menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan harga agar tidak merugikan petani. “Harga gabah dan beras harus tetap rasional—tidak boleh jatuh terlalu rendah agar petani tetap untung, tapi juga tidak boleh terlalu tinggi agar tetap terjangkau oleh konsumen. Ini tugas kita menjaga ekosistem hulu sampai hilir tetap sehat,” pungkasnya.