
Para pelaku usaha impor mengeluhkan kerugian signifikan akibat kemacetan parah yang melanda kawasan Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, pada Kamis, 17 April 2025. Situasi ini menyebabkan kontainer-kontainer barang tidak bisa segera keluar dari terminal dan memicu penambahan biaya logistik secara drastis.
Ketua Umum Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI), Subandi, mengungkapkan bahwa masalah kemacetan di Pelabuhan Tanjung Priok dipicu oleh efek domino dari larangan operasional kendaraan barang pada masa arus mudik dan balik Lebaran. Kebijakan pembatasan mobilitas angkutan barang yang berlaku sejak 24 Maret hingga 8 April 2025 telah membuat aktivitas bongkar muat di pelabuhan menumpuk.
“Setelah libur panjang, kendaraan logistik antre panjang dan tidak bisa masuk terminal tepat waktu. Akibatnya, kami harus menanggung biaya tambahan penumpukan kontainer sekitar Rp500 ribu per unit,” ujar Subandi, dikutip Minggu (20/4/2025).
Efek Berantai: Biaya Transportasi Naik dan Produksi Tersendat
Tak hanya penumpukan, biaya pengeluaran kontainer lainnya ikut melesat. Menurut Subandi, tarif jasa angkut selama periode Lebaran naik hingga 1,5 kali lipat dari tarif normal. Bahkan, beberapa importir terpaksa membayar jasa pengawalan kendaraan demi menjamin keamanan dan ketepatan waktu distribusi barang.
“Biaya logistik melonjak tajam, dan ini belum termasuk kerugian karena keterlambatan bahan baku ke pabrik. Proses produksi terganggu, dan reputasi kami di mata mitra luar negeri bisa terdampak,” jelasnya.
Selain menghambat jalur distribusi ke gudang-gudang utama yang tersebar di Jabodetabek dan sekitarnya, kondisi ini juga menimbulkan antrean panjang di jalur-jalur tol utama menuju pelabuhan, seperti Jalan Tol Cawang–Pluit dan Tol Lingkar Luar Jakarta (JORR), yang memperparah keterlambatan pengiriman.
Kondisi ini menambah catatan buruk terhadap indeks logistik nasional. Berdasarkan laporan Bank Dunia pada 2023, Indonesia menempati peringkat ke-63 dari 139 negara dalam Logistic Performance Index (LPI). Masalah efisiensi waktu pengiriman dan tingginya biaya logistik domestik menjadi penyumbang rendahnya skor Indonesia.
Subandi mendorong pemerintah dan operator pelabuhan untuk mencari solusi jangka panjang yang lebih strategis, seperti pengaturan arus keluar masuk kendaraan logistik pasca libur nasional, digitalisasi layanan pelabuhan, serta peningkatan koordinasi antarinstansi.
“Harus ada sistem yang bisa mencegah akumulasi penumpukan saat masa libur. Kalau tidak, importir akan terus jadi korban dari kebijakan yang tidak selaras dengan dinamika logistik,” tutupnya.