Harga minyak mentah mencatat kenaikan sekitar 1 persen pada Jumat, 22 November 2024, mencapai level tertinggi dalam dua pekan terakhir. Lonjakan ini dipicu oleh eskalasi konflik di Ukraina, yang memperburuk risiko geopolitik di pasar global.
Berdasarkan laporan Business Times pada Sabtu (23/11/2024), harga minyak mentah Brent meningkat USD 0,94 atau 1,3 persen, sehingga mencapai USD 75,17 per barel. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) naik USD 1,14 atau 1,6 persen, menjadi USD 71,24 per barel. Dalam sepekan, kedua harga acuan ini telah mencatat kenaikan sekitar 6 persen, tertinggi sejak 7 November 2024.
Konflik Rusia-Ukraina Memicu Kekhawatiran Pasar
Eskalasi konflik Rusia-Ukraina menjadi faktor utama yang mendorong kenaikan harga minyak. Serangan intensif Rusia terhadap Ukraina semakin meningkat setelah Inggris dan Amerika Serikat memberikan izin kepada Kyiv untuk menggunakan rudal guna menyerang wilayah Rusia yang lebih dalam.
Presiden Rusia Vladimir Putin menyatakan bahwa rudal hipersonik terbaru Rusia, Oreshnik, akan terus diuji dalam pertempuran. Rusia juga telah menembakkan rudal ini ke Ukraina sebagai respons atas penggunaan rudal balistik AS dan rudal jelajah Inggris yang menghantam wilayah Rusia.
Menurut John Evans, analis dari PVM, pasar minyak khawatir konflik ini bisa berdampak pada infrastruktur minyak, gas, dan penyulingan. Kerusakan yang tidak disengaja pada infrastruktur ini dapat menimbulkan efek jangka panjang yang serius serta memperburuk eskalasi perang.
AS dan China Bereaksi terhadap Perang dan Pasar Energi
Di sisi lain, Amerika Serikat memberlakukan sanksi baru terhadap Gazprombank Rusia, yang diumumkan oleh Presiden Joe Biden menjelang akhir masa jabatannya pada 20 Januari. Langkah ini dimaksudkan untuk meningkatkan tekanan terhadap Rusia atas invasinya ke Ukraina. Namun, Kremlin menyebut sanksi tersebut sebagai upaya AS untuk menghambat ekspor gas Rusia dan memastikan bahwa solusi akan ditemukan untuk mengatasi hal ini.
Selain itu, AS juga melarang impor dari sekitar 30 perusahaan China yang diduga menggunakan tenaga kerja paksa dari komunitas Uighur. Larangan tersebut mencakup makanan, logam, dan produk lainnya.
China, sebagai importir minyak terbesar dunia, merespons ancaman ini dengan meluncurkan kebijakan baru untuk mendukung perdagangan dan impor energi. Berdasarkan analisis dan data pelacakan kapal, impor minyak mentah China diprediksi meningkat pada November. India, importir minyak terbesar ketiga, juga mencatat kenaikan impor minyak seiring meningkatnya konsumsi domestik, menurut data pemerintah setempat.
Penguatan Dolar AS dan Melemahnya Ekonomi Eropa Menekan Pasar
Meskipun harga minyak naik, penguatan dolar AS menjadi salah satu faktor yang membatasi lonjakan lebih lanjut. Dolar AS mencapai level tertinggi dalam dua tahun terhadap mata uang lainnya, membuat minyak lebih mahal bagi negara-negara lain dan berpotensi menekan permintaan global.
Di zona euro, aktivitas bisnis mengalami penurunan tajam pada November. Sektor jasa yang dominan menunjukkan kontraksi, sementara sektor manufaktur terus terpuruk dalam resesi. Sebaliknya, di AS, S&P Global melaporkan bahwa indeks output PMI justru mencatat lonjakan, dengan sektor jasa menjadi penyumbang utama pertumbuhan tersebut.
Di Jerman, ekonomi terbesar di Eropa, pertumbuhan kuartal ketiga lebih rendah dari perkiraan sebelumnya, menambah tekanan pada pasar energi dan ekonomi global.