Jakarta – Kampanye gerakan slow fashion diharapkan dapat memberdayakan pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sekaligus mengurangi pencemaran lingkungan.
Co-founder Our Reworked World Annika Rachmat menyampaikan slow fashion merupakan antitesis dari fast fashion, yang mana lebih mengutamakan kualitas produk dan usia pemakaian yang lebih lama. Meski relatif lebih mahal, namun, secara etika dan kualitas produk, slow fashion jauh lebih unggul dan ramah lingkungan ketimbang fast fashion.
Dalam beberapa laporan akhir-akhir ini, sejumlah isu sosial dan lingkungan akibat tren fast fashion mencuat di tingkat global dan kian mengkhawatirkan, termasuk masalah limbah tekstil, polusi udara karena pembakaran pakaian bekas, dan yang terburuk adalah, eksploitasi anak-anak menjadi pekerja berupah rendah.
“Limbah tekstil adalah pencemar air kedua terburuk di dunia setelah limbah industri. Menurut data kami, dari total 200 miliar potong pakaian yang diproduksi setiap tahun, 85 persen di antaranya berakhir di tempat sampah. Tak terkecuali, Indonesia, yang juga membutuhkan perhatian lebih pada isu ini. Kami mencatat, dari sekitar 33 juta ton pakaian yang diproduksi, hampir satu juta di antaranya menjadi limbah tekstil tiap tahun,” ujar Annika di Jakarta, Selasa (19/10).
Hal itulah yang mendorong Annika bersama rekan lainnya yaitu Nicole Chu dan Britney Halim di awal pandemi tahun 2020 mulai mengumpulkan dan mengurasi pakaian-pakaian bekas atau sudah tak terpakai dari berbagai sumber dan donatur. Lalu, mereka menentukan ide serta pola yang cocok untuk tiap potong pakaian.
“Kami memberdayakan para penjahit lokal untuk mengerjakan ulang pakaian-pakaian yang tidak terpakai. Setelah ditentukan, para penjahit akan mengerjakannya. Setelah kami nilai sangat layak pakai, kami lantas memasarkan pakaian-pakaian tersebut via Akun Instagram @4urclosetID dan website OurReworkedWorld.com/shop. Apabila ada baju yang terjual, kami serahkan 100 persen keuntungannya untuk mereka,” kata Annika.
Selanjutnya, sejak 2021, Our Reworked World menggandeng UKM dari Bali dan Klaten untuk pengerjaan ke sejumlah fabrik lain, seperti tas jinjing dua sisi (reversible tote bag), tas (bag), tas ransel (backpack), kantong (pouch), hingga “Travel Cube” yang kesemuanya diproduksi melalui proses alami tanpa kimia dan energi fosil.
“Untuk pouch dan ‘Travel Cube,’ kami juga merangkul Gerakan Kepedulian (GK) Indonesia; yakni organisasi nirlaba dengan misi membina keluarga berbudaya, produktif, dan mandiri agar menjadi masa depan Indonesia,” ujar Annika.
Our Reworked World mengklaim, setidaknya 95 persen dari 277 produk thrift yang dipajang telah laku terjual, di mana seluruh hasilnya pun telah diteruskan pada mitra penjahit dan beberapa mitra nirlaba di Indonesia.
“Ini bukan hanya tentang kemanusiaan, tetapi apresiasi atas kontribusi mereka yang sangat signifikan untuk masa depan yang berkelanjutan. Karena, dengan cara ini, mereka juga telah mengurangi limbah tekstil berkat slow fashion,” ujar Annika.
Ke depan, Annika dan kawan-kawan akan meningkatkan kerja sama dengan lebih banyak penjahit dan penenun dari seluruh pelosok nusantara. Di samping itu, juga berencana untuk membuka cabang di negara lain dengan menggandeng anak-anak muda setempat yang memiliki kepedulian yang sama akan slow fashion dan kesinambungan.
“Kami sangat berharap Our Reworked World dan gerakan-gerakan serupa kami ini tidak berhenti seiring pandemi mereda. Selama dua tahun ini, gerakan kami justru membesar. Saya yakin apabila kampanye slow fashion digaungkan bersama-sama, melibatkan semua pemangku kepentingan, maka masa depan manusia yang berkesinambungan bisa kita capai,” kata Annika.
Sampai hari ini, sebagian besar UKM bahkan masih “tidur pulas” alias gulung tikar akibat pandemi. Tak cuma di kota-kota kecil, bahkan di kota-kota besar sekalipun kondisinya tak kalah suram. Sekelas Bali yang merupakan episentrum andalan Indonesia untuk wisatawan domestik dan mancanegara mencatat kehilangan potensi ekonomi hingga 90 persen.
“Situasi ini sangat memprihatinkan. Ini salah satu alasan kami menggagas Our Reworked World, yaitu gerakan untuk membantu para pekerja informal, khususnya para penjahit, serta UKM yang terimbas dan kehilangan pendapatan. Gerakan ini juga merupakan upaya kami dalam menggencarkan kampanye slow fashion yang bertujuan mengurangi limbah tekstil dan menyelamatkan bumi untuk masa depan yang berkelanjutan,” ujar Annika.