
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan bahwa tingkat literasi dan inklusi keuangan di Indonesia masih menunjukkan ketimpangan yang cukup mencolok jika dilihat dari usia dan tingkat pendidikan masyarakat.
Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi, menyampaikan bahwa kelompok usia produktif serta mereka yang memiliki pendidikan lebih tinggi umumnya memiliki pemahaman dan akses ke layanan keuangan yang lebih baik.
“Jika kita lihat berdasarkan kelompok usia, literasi dan inklusi keuangan ditopang oleh tiga kelompok utama, yaitu usia 18-25 tahun, 26-35 tahun, dan 36-50 tahun,” jelas Friderica, Minggu (4/5/2025).
Data OJK menunjukkan, kelompok usia 26-35 tahun mencatatkan tingkat literasi keuangan tertinggi dengan angka 74,04 persen. Disusul kelompok 18-25 tahun di angka 73,22 persen dan kelompok 36-50 tahun sebesar 72,05 persen.
Sebaliknya, kelompok usia 15-17 tahun dan 51-79 tahun justru berada di posisi terbawah, masing-masing dengan literasi keuangan sebesar 51,68 persen dan 54,55 persen.
Sementara itu, untuk indeks inklusi keuangan, kelompok usia 18-25 tahun memimpin dengan capaian 89,96 persen, diikuti kelompok 26-35 tahun sebesar 86,10 persen, dan kelompok 36-50 tahun dengan 85,81 persen.
Kelompok usia 51-79 tahun dan 15-17 tahun berada di posisi paling rendah untuk inklusi keuangan, masing-masing mencatat 66,88 persen dan 74,00 persen.
“Indeks inklusi keuangan mengalami peningkatan di semua kelompok umur dibanding tahun 2024,” tambah Friderica.
Pendidikan Pengaruhi Literasi dan Inklusi Keuangan di Indonesia
Jika dilihat dari tingkat pendidikan, mereka yang menempuh pendidikan tinggi memiliki literasi keuangan tertinggi dengan angka 90,63 persen. Disusul lulusan SMA sederajat di angka 79,18 persen dan lulusan SMP sederajat sebesar 64,04 persen.
Sementara itu, masyarakat yang tidak pernah sekolah atau tidak lulus SD mencatat literasi keuangan terendah dengan 43,20 persen, dan lulusan SD sebesar 54,50 persen.
Tren serupa juga terjadi pada inklusi keuangan. Lulusan perguruan tinggi mencatat inklusi tertinggi dengan angka 99,10 persen, diikuti lulusan SMA 92,81 persen, dan SMP 82,00 persen. Sementara kelompok tanpa pendidikan atau tidak lulus SD mencatatkan inklusi 56,95 persen, dan lulusan SD 68,06 persen.
Dari sisi pekerjaan, kelompok pegawai atau profesional mencatat literasi keuangan tertinggi dengan 85,80 persen. Di bawahnya ada pensiunan atau purnawirawan 74,11 persen dan pengusaha atau wiraswasta sebesar 73,60 persen.
Sebaliknya, kelompok yang tidak atau belum bekerja, serta petani, peternak, pekebun, dan nelayan memiliki literasi keuangan lebih rendah, masing-masing 49,36 persen, 58,87 persen, dan 60,17 persen.
“Untuk inklusi keuangan, pensiunan atau purnawirawan mencatat capaian sempurna 100 persen, disusul pegawai atau profesional 95,11 persen, dan pengusaha atau wiraswasta 88,66 persen,” kata Friderica.
Namun, kelompok yang tidak atau belum bekerja serta sektor pertanian dan perikanan memiliki indeks inklusi lebih rendah, masing-masing 64,82 persen, 69,40 persen, dan 74,73 persen.