Nailul Huda, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) sekaligus pakar ekonomi digital, mengungkapkan bahwa 28 platform pinjaman online menghadapi kesulitan dalam memenuhi syarat modal minimum, yang bisa jadi akibat tantangan bisnis yang mereka hadapi.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru-baru ini mengumumkan bahwa 28 platform pinjaman online tersebut mengalami kendala dalam mencapai ekuitas minimum sebesar Rp7,5 miliar pada Senin (5/8) lalu.
“Tujuan OJK dalam menetapkan aturan bunga adalah untuk meringankan beban nasabah. Namun, langkah ini bisa mempengaruhi kelangsungan bisnis P2P lending itu sendiri,” ujar Nailul seperti yang dikutip dari ANTARA.
Tantangan Modal dalam Industri P2P Lending
Sejak awal 2024, OJK telah menerapkan aturan bunga baru untuk layanan Peer to Peer lending (P2P lending). Menurut peraturan tersebut, tingkat bunga untuk pembiayaan sektor produktif ditetapkan sebesar 0,1 persen per hari, sementara untuk sektor konsumtif ditentukan sebesar 0,3 persen per hari.
“Saya menduga bahwa 28 platform ini mungkin menghadapi tantangan dalam mengumpulkan modal yang cukup untuk memenuhi syarat minimum tersebut. Rp7,5 miliar seharusnya bukan jumlah yang terlalu besar untuk platform di sektor keuangan,” tambah Nailul.
Model bisnis P2P lending, menurut Nailul, berbeda dengan model bisnis pinjaman dari lembaga keuangan lainnya. Di bisnis P2P lending, terdapat lender individu dan institusi dengan imbal hasil yang lebih menarik, yang menjadi daya tarik utama bagi mereka untuk berinvestasi.
“Jika suku bunga terlalu rendah, bisnis ini mungkin tidak berkembang, dan hal ini bisa merugikan konsumen. Pasalnya, masyarakat yang membutuhkan pinjaman bisa saja terjebak dengan platform ilegal yang rawan penipuan dan penagihan yang merugikan,” jelasnya.
Solusi untuk Pertumbuhan P2P Lending yang Sehat
Nailul Huda berpendapat bahwa pengaturan bunga sebesar 0,3 persen dengan transparansi biaya bisa menjadi solusi win-win bagi platform dan nasabah.
“Pinjaman online biasanya berjangka pendek, berbeda dengan pinjaman konvensional yang berjangka panjang. Penerapan bunga sebesar 0,3 persen bisa menjadi solusi agar platform legal tetap bertumbuh, OJK dapat mengatur, dan masyarakat terhindar dari pinjaman ilegal,” ungkapnya.
Sebelumnya, OJK melalui POJK Nomor 10/2022 Pasal 50 menetapkan bahwa penyelenggara P2P lending harus memiliki ekuitas minimum sebesar Rp12,5 miliar, yang implementasinya dilakukan secara bertahap.
Dalam satu tahun sejak aturan tersebut diundangkan, platform P2P lending diharuskan memiliki ekuitas minimum sebesar Rp2,5 miliar. Kemudian pada tahun kedua, angka tersebut naik menjadi Rp7,5 miliar. Sementara itu, ekuitas minimum sebesar Rp12,5 miliar akan berlaku tiga tahun sejak aturan tersebut diberlakukan.