Direktur riset Indef Berly Martawardaya mengatakan tren industrialiasi kita menurun dan berada pada titik 19,9% di tahun 2018. Nilai ekspor manufaktur Indonesia masih di bawah negara- negara lain di ASEAN seperti Malaysia dan Thailand. Investor manufaktur yang high-tech belum tertarik untuk berinvestasi di Indonesia dan secara umum ekonomi Indonesia relatif tertutup.
“Permasalahan pokok manufaktur berdasarkan temuan asal adalah prosedural impor bahan baku yang terhambat, pengurusan perizinan buka pabrik maupun usaha di Indonesia sangat ribet dan tidak mudah. Sehingga perlu adanya revisi UU tenaga kerja, tenaga kerja yang masih kurang kompetitif, dan sejauh ini infrastruktur Indonesia masih kalah dari competitor,” tambahnya.
Ia menilai One-stop service (OSS) di Indonesia juga tidak berguna, berbeda dengan Malaysia. Banyak investor yang tertarik untuk berinvestasi di Indonesia, namun terhambat oleh prosedural yang tidak praktis.
Menurut Direktur Program Indef Esther Sri Astuti S.A, memang investor banyak tertarik masuk indoneisa, tetapi Indonesia kurang cepat merespon.
“Bandingkan dengan Thailand dan China yang memberikan insentif jor- joran. Begitu juga di Malaysia, Malaysian Investment Development Authority (MIDA) melakukan personal touchment. Ketika investor datang disambut dan dijemput di bandara lalu diajak makan, keliling dan mengobrol. Bahkan dari studi riset yang saya lakukan, MIDA sampai mengurus imigrasi calon investor asing yang memiliki anjing,” jelasnya.
Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad menambahkan pada paruh pertama tahun ini, sektor-sektor penggerak ekonomi seperti manufaktur dan investasi ternyata bertumbuh tidak sesuai harapan dan gagal mendorong laju perekonomian.
“Maka dengan capaian kuartal I 2019 ini akan semakin sulit untuk pemerintah mencapai sebesar 5,3 persen di tahun ini,” jelasnya