Perkembangan Ekonomi Global
Pada Kamis 7 November 2019, pemerintah Tiongkok dan pemerintah Amerika Serikat secara terpisah mengumumkan bahwa kedua negara telah mencapai kesepakatan tahap awal untuk menghentikan perang dagang.
Meskipun demikian, belum ada dokumen perjanjian perdagangan resmi yang ditandatangani. Jika perjanjian perdagangan untuk menghentikan perang dagang ini benar-benar bisa dicapai, maka kedua negara akan secara bertahap dan simultan membatalkan pengenaan tarif satu sama lain.
Para pelaku pasar finansial global bereaksi positif terhadap pengumuman ini, namun tetap mengantisipasi resiko tidak tercapainya perjanjian perdagangan di antara kedua negara.
International Monetary Fund (IMF) menyatakan bahwa perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok memperlambat laju pertumbuhan ekonomi global sebesar 1 percentage point (ppt).
IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi global akan melambat dari 3,6% di tahun 2018 ke 3,0% di tahun ini. Perlambatan pertumbuhan ekonomi di Amerika Serikat dan Tiongkok berpengaruh negatif terhadap kinerja ekspor Indonesia, karena keduanya adalah negara tujuan utama ekspor Indonesia.
Perkembangan Ekonomi Nasional
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,02% year on year (y/y) atau 3,06% quarter on quarter (q/q) di triwulan ketiga 2019 (Q3-2019), lebih rendah daripada angka pertumbuhan di Q2-2019 sebesar 5,05% y/y (4,20% q/q).
Dilihat dari sisi lapangan usaha, sektor industri pengolahan merupakan sumber utama pertumbuhan ekonomi Indonesia, diikuti oleh sektor perdagangan dan reparasi, dan sektor konstruksi.
Dari sisi permintaan, konsumsi rumah tangga merupakan pendorong utama pertumbuhan ekonomi, diikuti oleh pembentukan modal tetap bruto (komponen dari investasi).
Institut Kajian Strategis (IKS) Universitas Kebangsaan RI memperkirakan pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun 2019 akan berada di angka 5,0%, lebih rendah daripada target pemerintah di 5,3%. Perlambatan ekonomi global, tertekannya konsumsi rumah tangga akibat pelemahan daya beli, dan masih lambatnya pertumbuhan investasi merupakan penyebab tidak tercapainya target pertumbuhan ekonomi pemerintah tahun ini.
IKS memperkirakan ekonomi Indonesia masih akan tumbuh di angka 5,0% di tahun 2020, di tengah-tengah resiko masih berlanjutnya perang dagang antara Amerika Serikat dengan Tiongkok dan pelemahan daya beli masyarakat akibat tekanan inflasi dari komponen administered prices (di antaranya dari tarif dasar listrik dan iuran BPJS yang direncanakan naik tahun depan).
Bank Indonesia (BI) mengumumkan bahwa neraca pembayaran Indonesia (NPI) mengalami defisit sebesar USD 46 juta di Q3- 2019, namun angka ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan angka defisit di Q2-2019 sebesar USD 2,0 milyar.
Mengecilnya defisit NPI ini terutama disebabkan oleh berkurangnya defisit neraca transaksi berjalan (current account) dari USD 8,2 milyar di Q2-2019 menjadi 7,7 milyar dollar di Q3-2019, dan naiknya surplus neraca modal dan finansial (financial and capital account) dari USD 6,5 milyar ke USD 7,6 milyar.
IKS memperkirakan NPI untuk keseluruhan tahun 2019 akan berada pada posisi surplus sebesar USD 2,2 milyar (0,2% dari PDB nominal), dibandingkan dengan defisit sebesar USD 7,1 milyar di tahun 2018 (-0,7% dari PDB nominal).
Oleh:
Dr. Eric Alexander Sugandi, Peneliti Ekonomi Senior Institut Kajian Strategis Universitas Kebangsaan Republik Indonesia